aspek maslahat hitung weton dalam budaya jawa



Jika kita lihat,fenomena hitung weton sebagai penentu pernikahan masih banyak dilakukan di berbagai daerah khususnya pulau jawa. Hitung weton sendiri dilakukan guna sebagai penentu bagaimana kondisi dan keberlangsungan seseorang yang akan menikah tersebut. Perlu kita ketahui sebenaranya dalam islam sendiri tidak mengenal apa itu istilah weton, karena weton sendiri adalah sebuah tradisi jawa sejak dahulu kala di bumi jawa ini.
Terdapat suatu kasus dimana seseorang gagal melakukan pernikahan karena dalam hitungan weton anatara laki-laki dan perempuan tersebut memiliki hasil buruk sehingga pernikahan tersebut tidak dapat dilaksanakan agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Dalam islam sendiri tidak mengenal istilah-istilah tersebut, seseorang yang akan melangsungkan pernikahan selama memenuhi syarat sah maka boleh melakukan pernikahan dengan siapa saja.
Lalu bagaimana kita menyikapi tentang weton tersebut? Kita sebagai masyarakat adat, kita sebagai orang jawa yang memiliki nuansa adat yang sangat kental, sudah sepatutnya kita menghormati dengan aat istiadat tersebut. Kita boleh tidak meyakini bahwa hitungan weton tersebut merupakan sebuah kebenaran yang mutlak, akan tetapi sudah sepatutnya kita menjaga dan menghormati tradisi nenek moyang kita.
Ketika kita beranggapan bahwa tujuan weton tersebut sebagai manifestasi dari kata maslahat, apa salahnya kita mengikuti budaya tersebut tanpa lupa mengindahkan garis besar antara syirik dan tidak.adapun syarat pernikahan yang sah menurut beberapa madzhab ialah
·         menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘arba’ah  menyebutkan yang termasuk rukun adalah Alijab dan Alqabul dimana tidak ada nikah tanpa keduanya
·         Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’, rukun nikah terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.
·         Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang dalam Sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan kesaksian. Menurut Syafiiyyah meliht syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut Sighat, wali, calon suami-istri dan juga Syuhud.
·         Menurut Malikiyah, rukun nikah ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para ulama tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun, sedangkn syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun. 


Komentar