BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian filsafat hukum
Filsafat merupakan terjemahan dari
istilah “philosophia” yang berasal dari bahasa yunani yang berarti cinta akan
kebijaksanaan. Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat mempunyai beberapa
cabang ilmu utama diantaranya adalah ontology, epistimologi,aksiologi, dan
moral. Dapat dikatan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat yaitu filsafat
tingkah laku dan etika yang mempelajari hukum secara filosofis.
1.pengertian filsafat hukum menurut para ahli
·
Menurut
soetikno[1]
: flsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum dengan cara mengetahi apa
yang ada dibelakng hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dan menyelidiki
kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai serta mengenai nilai filsafat sampai
pada dasarnya
·
Menurut
satjipto raharjo : filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari
hukum, tentang dasar bagi yang mengikat dari hukum.
·
Menurut
purnadi purbacaraka dan soerjono soekanto : filsafat hukum adalah perenungan
dan perumusan nilai-nila dan juga mencangkup penyerasian nilai-nilai misalnya
penyelesaian antara ketertiban dan ketentraman
B.
Ruang lingkup pembahasan filsafat
hukum
Masalah dasar yang menjadi perhatian
filsafat hukum zaman dahulu hanya
terpaku pada masalah tujuan hukum saja[2].
Sedangkan pada masa saat ini obyek
pembahasan filsafat hukum juga mengkaji setiap permasalahan yang muncul didalam
masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan diantaranya permasalahan yang
menyangkut keadilan social di masyarakat.
1. Contoh-contoh masalah hukum :
·
hubungan
hukum dengn kekuasaan
·
hubungan
hukum dengan nilai social budaya
·
apa
sebab Negara berhak menghukum seseorang
·
sebab
orang mentaati hukum
·
masalah
pertanggungjawaban
·
masalah
hak milik
C.
perkembangan filsafat hukum
1. zaman purbakala
pada zaman itu boleh dikatakan
bahwa filsafat hukum belum berkembang, alas an utamanya karena filsuf pad masa
itu memusatkan masalah kepada alam semesta tentang bagaimana cara
terbentuknya. Sehingga dapat dikatan filsafat pada zaman tersebut masih beku
seperti pendapat beberapa filsuf
seperti: Filsuf yang hidup pada tahun 624-548 S.M mengemukakan bahwa alam
semesta ini terbentuk dari air, anaxi
mandros mengatakan bahwa inti alam itu merupakan suatu zat yang tak tentu
sifatnya yang disebut to opeiron, heraklitos mengatakan bahwa alam semesta ini
terbentuk dari api, dia mengemukakan suatu slogan yang terkenal hingga saat ini
yaitu panterei yang berarti mengalir (segala sesuatu di bumi tidak berhenti
berubah). Dari pendapat beberapa filsuf diatas maka sudah jelas bahwa sebagian
besar filsuf di zaman tersebut masih terpaku dalam bidang perhatian alam saja,
sehingga filsafat hukum belum banyak berkembang.
2. Abad pertengahan
·
Masa
Gelap ( the dark ages ) : masa ini dimulai dengan runtuhnya kekaisaram romawi
akibat serangan dari suku Germania. Pada masa itu kekaisaran romawi hancur
lebur sehingga menyebabkan para ahli masa kini sulit untuk menentukan secara
pasti bagaimana filsafat di masa itu,tetapi yang tidak dapat dipungkiri pada
masa itu pengaruh agama Kristen sangat pesat sehingga ada berbagai pendapat
bahwa filsafat romawi lebih condong ke agama Kristen. Tetapi pada masa ini
dapat dikatakan bahwa filsafat hukum belum berkembang
·
Masa
scholastik : jika pada masa sebelumnya filsafat hukum belum berkembanhg, pada
masa ini banyak pemikiran hukum yang baru tetapi dengan corak khusus yaitu
denagn didasari dengan ajaran Kristen. Pada masa ini terjadi peralihan yang dulu menggunakan alam
pikiran yunani terdapat 4 aliran pikiran yang besar yaitu
plato,atristoteles,stoa,epicurus. Dikarenakan banyaknya pertentangan dan
perbedaan pendapat serta banyak perselisihan di kalangan aliran ini, maka
timbullah aliran baru yang disebut aliran ecletisisme
3. Masa renaissance dan zaman baru
Abad pertengahan, yang merupakan masa yang khas, yang ditandai dengan
suatu pandangan hidup manusia yang merasa dirinya tidak berarti tanpa tuhan,
dimana kekuasaan gereja demikian besarnya mempengaruhi segala segi kehidupan.
Dan muncul zaman baru yang disebut Renaissance, zaman ini ditandai dengan tidak
terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan, dan manusia
menemukan kembali kepribadiannya.
Dalam dunia pemikiran hukum, lahirnya zaman ini menimbulkan pula adanya
pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan
daripada rasio tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban ketuhanan. Dan
rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari
hukum. Pemikiran ini nampak jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam
yang rasionalitas dan penganut faham positivism hukum. Unsur logika manusia
merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.
4. Abad modern
Walaupun pada masa sebelumnya unsur logika
manusia sangat berperan dalam pengembangan pemikiran hukum, akan tetapi
filsafat hukum dinilai kurang berkembang dikarenakan akibat adanya kodifikasi
yang kurang memberikan perhatian terhadap masalah-masalah keadilan. Pada masa
ini ada tendensi peralihan yaitu yng tadinya filsafat hukum adalah filsafat
dari para filsuf, kini beralih kepada filsafat hukum dari para ahli hukum
D.
PENGERTIAN
POSITIVISME
Teori Positivisme
(logical Positivisme) adalah
suatu aliran yang
banyak mengalami perubahan yang
mendasar dalam perjalan
sejarahnya, Istilah positivisme
pertama kali digunakan oleh Francis Biken
seorang filosof berkebangsaan
Inggris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa
adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi
pikiran dan apriori
akal tidak boleh menarik
kesimpulan dengan logika
murni, maka dari itu harus melakukan observasi atas
hukum alam. Istilah
ini kemudian juga
digunakan oleh Agust
Comte dan dipatok secara mutlak
sebagai tahapan paling akhir
sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga
tahapan sejarah: pertama,
tahapan agama atau
ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi hanya
berpegang kepada kehendak Tuhanatau
Tuhan-Tuhan (Polytheisme); tahapan
kedua, adalah tahapan
filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman- pemahaman metafisika
seperti kualitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan
adapun Positivisme sebagai tahapan
ketiga, menafikan semua
bentuk tafsir agama
dan tinjauan filsafat
serta hanya mengedepankan metode
empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.[3]
Pada
tahun 1930 M, istilah
Positivisme berubah lewat
kelompok lingkaran Wina menjadi
Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisiempiris abad
ke 19. Lingkaran
Wina menerima pengelompokan
proposisi yang dilakukan Hume
dengan analitis dan
sintetis, dan berasaskan
ini kebenaran proposisi-proposisi empiris
dikategorikan bermakna apabila
ditegaskan dengan penyaksian
dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika
yang tidak dapat
dieksprimenkan maka
dikategorikan sebagai tidak
bermakna dan tidak
memiliki kebenaran.
Menurut kaum positivisme syarat suatu
proposisi memiliki makna adalah harus
bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas
subyek itu sendiri
dan kebenarannya lahir
dari proposisi itu sendiri serta
pengingkarannya menyebabkan
kontradiksi, atau mesti
bersifat empiris, yakni melalui
proses observasi dan
pembuktian. Tolok ukur
kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah
melewati proses pembuktian dan
eksperimen, maka sangat
banyak proposisi-proposisi empiris yang
tidak akan bermakna
(tidak benar), karena
tidak dapat dibuktikan .
Mazhab filsafat ini
dalam bagian lain
mengakui bahwa manusia
tidak mampu menyingkap hakikat
realitas dalam bentuk
pembuktian, penegasan, dan
bahkan pembatalan tetapi hanya
sebatas pemuasan akal. [4]
E.Pengaruh filsafat positifisme pada perkembangan ilmu hukum
Hukum positivisme dalam perkembangannya
memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang sangat luas. Aliran ini merupakan
turunan dari filsafat politik kuno yang sudah lama dibahas, diperkenalkan dan
diterapkan sampai abad pertengahan. Namun perkembangan politik modern telah
mengubah hampir keseluruhan, masih sedikit menyisakan doktrin filsafat politik
klasik. Perkembangan aliran hukum positivistik hingga abad pertengahan berakar
dari berbagai macam pemikiran, seperti filsafat politik Hobbes dan Hume,
berakar pada pemikiran Jeremy Bentham terhadap gagasannya mengenai hukum dan
kekuasaan yang diadopsi, dimodifikasi dan dipopulerkan oleh Austin. Namun
hingga pertengahan abad ke 20, ide-ide hukum klasik sudah mulai kehilangan
pengaruhnya terhadap para filosof hukum. Pemikiran pada abad modern mengganti
kekuasaan hukum pada kekuasaan legislative dengan lebih fokus terhadap
institusi-institusi yang mengaplikasikan hukum seperti pengadilanpengadilan.
Dan penekanan pemikiran modern itu memberikan jalan terhadap perkembangan teori
yang memberi tekanan pada karakter hukum yang sistematik dan normative .
John Austin (1790-1858) berargumen bahwa
ciri-ciri yang jelas secara prinsip dari
sebuah sistem hukum adalah hadirnya kekuasaan yang dipatuhi oleh kebanyakan
orang dalam masyarakat.[3] Anton F. Susanto, 2010, Ilmu
Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, GentaPublishing,
Yogyakarta, h. 39. Hukum baginya
merupakan perintah (Command) dari pihak yang berkuasa (Sovereign) dan memiliki
terhadapnya memiliki wewenang untuk mengeluarkan sangsi. Austin berpendirian
bahwa orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command,
dianggap berpijak bahwa command merupakan pelaksanaan dari kekuasaan. Oleh sebab itu menurutnya, setiap hukum yang
dibuat oleh kekuasaan berarti sifat hukum tersebut adalah tertinggi atau
berdaulat penuh.[4] ]Jalan Mundur (dalam) Positivisme
Hukum Indonesia http://joeniarianto.files, diunduh 29 November 2017.
Pendapat Austin tersebut menimbulkan
implikasi yakni bahwa apapun bentuknya sesuatu kekuasaan berhak untuk membuat,
menentukan dan menegakkan hukum. Kekuasaan bisa dalam artian Negara modern yang
terdiri dari eksekutif maupun yudikatif, bisa juga bentuk kekuasan teokrasi
yang pemimpinnya mendapatkan legitimasi ke-Tuhanan. Selain itu kekuasaan
(sovereign) bersifat paling tinggi, akibatnya
rakyat atau anggota masyarakat yang berada di bawah kekuasaan itu harus
tunduk dan patuh terhadap institusi tersebut. Namun bagaimanapun juga pendapat
Austin tersebut mengandung berbagai kelemahan. Perdebatan yang mendasar pada
teori Austin diatas adalah cocok atau tidaknya teori tersebut diaplikasikan
pada suatu tatanan masyarakat yang plural dengan demokrasinya. Padahal pada
faktanya tidak ada identifikasi terhadap sovereignty (kekuasaan) pada sebuah
negara demokrasi.
Di Indonesia contohnya, kekuasaan politik
tertinggi berada di tangan rakyat yang memilih para pembuat hukum baik
legislative maupun eksekutif untuk dapat mewakili kepentingan mereka. Baik legislative maupun eksekutif itu memiliki
kekuasaan untuk memaksa perilaku masyarakatnya Namun legislative, misalnya,
harus tunduk dan berperan sebagai pelayan rakyat. Namun Eksekutif yang dipilih
oleh rakyat bukannya tunduk pada rakyat namun patuh dan berada pada pengawasan
Legislatif. Problem kedua dari
pandangan Austin adalah kekuasaan dari otoritas para pembuat hukum tidak memiliki
kemampuan untuk membatasi hukum yang dibuatnya. Pada pandangan Austin,
kekuasaan tidaklah secara legal dibatasi karena tidak ada seorang pun atau
lembaga apapun yang dapat memaksa dirinya sendiri. Namun begitu di negara
demokrasi, hukum yang dibuat oleh Legislative ternyata dapat membatasi perilaku
orang-orang yang duduk di Legislative.
Pandangan John Austin mengenai hukum yang
bersifat imperative ini mengandaikan pada dua hal. Pertama, ini bersifat
monistik yaitu mengandaikan bahwa semua hukum-hukum sebagai satu bentuk,
membebankan kewajibankewajiban pada subyek hukum-hukum itu, meskipun bukan pada
kekuasaan itu sendri. Kedua, hal ini bersifat reduksionis yang hanya
menggunakan bahasabahasa perintah dari kekuasaan legislative tertinggi dan
sebaliknya mengesampingkan perintah-perintah yang secara normative di luar dari
kekuasaan legislative.[5] ] Lili Rasjidi, 2001,
Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 56. Hans Kelsen (1881-1973) memberi
kontribusi yang penting dalam teori hukum positive. Pandangannya dimulai dengan
melihat pada perdebatan antara filsafat Kantian dan Postivisme sehingga
mendasari pemahamannya mengenai apa itu hukum. Satu phrase yang terkenal dari
filsafat Kantian adalah das ding an sich yaitu
benda ada pada dirinya sendiri. Persoalan akan dimulai ketika terjadi struktur
a priori terhadap suatu benda.
Konsep mengenai benda itu sudah ada dalam diri pengamat ketika ia
mengamati obyek benda tersebut. Dari sini muncul dualisme terhadap benda
tersebut, yakni numenal dan fenomena. Numenal ada pada diri si pengamat,
sedangkan fenomenal ada pada diri benda itu sendiri. Jika demikian adanya, maka pemahaman terhadap
suatu obyek itu bisa jadi berbeda antara pengamat satu dengan lainnya, hal ini
akan menimbulkan berbagai kerancuan, dan sulit untuk menemukan obyektifitasnya.
Oleh sebab itu pemikir positivist menolak kerancuan ini dan menganggap hakikat
itu ada dalam fenomena itu sendiri.[6]
kelsen mencoba memasukkan sejarah perdebatan
itu untuk melihat subyek hukum. Ia mulanya mengatakan bahwa hukum tidak dapat
muncul dari fenomena atau fakta. Hukum hadir secara imputative, dimasukkan dari
subyektifitas orangorang yang berbeda yang kemudian disatukan. Namun ketika itu
sudah menjadi kodifikasi maka suatu hukum dapat menjadi subyek di mana
orang-orang yang membentuknya harus tunduk terhadap hukum yang dibuatnya. Hal
ini menegaskan bahwa hukum sudah ada pada dirinya sendiri. Menurutnya, ketika
sudah membicarakan suatu hukum maka tidak penting lagi mempersoalkan hukum
hukum itu dibuat, melainkan biarkan hukum itu sendiri berbicara mengenai
dirinya, inilah yang dikatakannya sebagai hukum murni .
Teori Hukum Murni adalah teori hukum positif.
Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan
tujuannya. Teori ini berpaya menjawab pertanyaan apa itu hukum, bagaimana
keberadaanya, bukan bagaimana ia semestinya ada….Ia disebut teori hukum murni
lantara ia hanya menjelaskan hukum dan berpaua membersihkan obyek penjelasannya
dari segala hal yang tidak bersangkutan dengan hukum. Yang menjadi tujuannya
adalah membersihkanilmu hukum dari unssur-unsur asing. Inilah landasan
metodologis dari teori ini.[7]
Hans Kelsen mempertahankan pandangan
imperativalist monism a-la Austin namun meninggalkan pandangan reduksionismenya.
Bentuk setiap hukum adalah dari ketentuan bersyarat, diarahkan pada pengadilan,
dan menjatuhkan sanksi pada perilaku tertentu dengan menggunakan delik. Pada
pandangan ini, hukum adalah sebuah sistem panduan secara tidak langsung: ia
tidak memberitahu subyek apa yang harus dilakukan; ia memberitahu petugas hukum
mengenai apa yang harus dilakukannya untuk subyek di bawah kondisi tertentu. Jadi, apa yang biasa kita anggap sebagai
kewajiban hukum untuk tidak mencuri adalah, bagi Kelsen hanyalah logis ketika
memiliki korelasi dengan norma primer yang menetapkan sanksi terhadap pencuri.
Meskipun sebagian menganggapnya sebagai fakta penting namun tidak demikian
dalam hukum murni, seperti gunanya punya larangan pencurian. (Pengadilan
memperdulikan antara, di satu sisi, orang tidak mencuri dan, di sisi lain,
mencuri dan menderita sanksi.)
Kontribusi Kelsen yang paling penting
terletak dalam serangannya terhadap reduksionisme. Dia berpendapat hukum adalah
normatif dan harus dipahami dengan cara demikian. Hal ini mungkin tidak membuat
kewenangan – bahkan hak hukum – sehingga filsafat hukum harus menjelaskan fakta
bahwa hukum diambil untuk memaksakan kewajiban pada subjeknya. Selain itu, hukum adalah sistem
normatif: “Hukum tidak, seperti yang kadang-kadang dikatakan, sebuah aturan.
Ini adalah satu set aturan dimana memiliki semacam kesatuan yang dapat kita
sebut sistem“.[8] Pandangan imperativalisnya Austin menilai kesatuan sistem
hukum terdiri dari semua hukum yang diperintahkan oleh satu badan yang
berberdaulat. Namun bagi Kelsen, seperangkat sistem hukum tersebut terdiri,
pada kenyataan bahwa mereka semua berhubungan dalam satu rantai otoritas,
bahkan memiliki otoritas itu sendiri. Dari dua pendapat baik itu
Bentham-Austin dan Kelsen nampak jelas perbedaannya. Kewenangan atau daulat
bagi Kelsen terletak pada diri hukum itu dan bagaimana seperangkat hukum
tersebut dapat melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar kedaulatan pada hukum itu
sendiri tetap memiliki kekuatan hukumnya meski terjadi suatu perubahan sosial
yang berakibat pada pergeseran suatu pemerintahan. Jikapun terjadi perubahan
pada seperangkat hukum maka harus melalui mekanisme-mekanisme yang tetap
merujuk pada hukum yang secara sah berbicara mengenai perubahan itu. Pendapat
itu juga diperkuat oleh Hart yang akan dibahas kemudian. Sementara kedaulatan hukum menurut Austin
yang imperative itu ditentukan oleh kedaulatan dari pemerintahan itu sendiri.
Maka mungkin saja bisa jadi, ketika pemerintahan itu mengalami perubahan, hukum
itu sendiri dengan sesegera mungkin juga dapat berubah. Contoh yang paling dapat terlihat
adalah pada kasus di Indonesia. Manakala terjadi pergeseran pemerintahan dari
Orde Baru ke Reformasi, tidak serta merta membawa seluruh perubahan hukum yang
dibuat di masa Orde Baru. Jika-pun dirasa perlu ada perubahan hukum di Era
Reformasi (seperti amandemen UUD tentang pemilihan presiden) harus dilakukan
sesuai dengan mekanisme yang terdapat pada sepertangkat Undang-undang dasar itu
sendiri. Dalam perspektif Kelsenian misalnya, lembaga yang memiliki kewenangan
untuk mengubah undang-undang adalah sebenarnya lembaga yang diberikan
kewenangan oleh aturan tertinggi undang-undang dasar (first constitution) Intinya bahwa kekuasaan hukum itu
ada pada hukum sendiri, pertanyaan selanjutnya ketika dalam sistem
ketatanegaraan misalnya, banyak hukum-hukum yang lainnya, maka siapakah yang
paling memiliki kewenangan? Padahal secara teoritis, sebenarnya mungkin saja
satu hukum bersumber dari sumber hukum yang lainnya. Untuk menghindari
kerancuan ini, Kelsen mengajukan suatu
pemikiran terhadap apa yang ia sebut sebagai norma dasar (grundnorm).
E.
Manfaat mempelajari filsafat hukum
Dikutip dari pendapat Mochtar
Kusumaatmadja (1975:9) yaitu:
1.
Mata
kuliah filsafat hukum di tingkat terakhir berfungsi untuk menetapkan hukum
dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia untuk
menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminya
2.
Pelajaran
filsafat hukum bisa dimanfaatkan
Secara praktis untuk menjelaskan
peranan hukum dalam pembangunan dengan memberikan perhatian khusus pada
ajaran-ajaran sociological jurisprudence
dan legal realism
Komentar
Posting Komentar