Langsung ke konten utama

filsafat ilmu hukum

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian filsafat hukum
Filsafat merupakan terjemahan dari istilah “philosophia” yang berasal dari bahasa yunani yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat mempunyai beberapa cabang ilmu utama diantaranya adalah ontology, epistimologi,aksiologi, dan moral. Dapat dikatan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat yaitu filsafat tingkah laku dan etika yang mempelajari hukum secara filosofis.
1.pengertian filsafat hukum menurut para ahli
·         Menurut soetikno[1] : flsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum dengan cara mengetahi apa yang ada dibelakng hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dan menyelidiki kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai serta mengenai nilai filsafat sampai pada dasarnya
·         Menurut satjipto raharjo : filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum, tentang dasar bagi yang mengikat dari hukum.
·         Menurut purnadi purbacaraka dan soerjono soekanto : filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nila dan juga mencangkup penyerasian nilai-nilai misalnya penyelesaian antara ketertiban dan ketentraman
B.      Ruang lingkup pembahasan filsafat hukum
Masalah dasar yang menjadi perhatian filsafat hukum zaman dahulu  hanya terpaku pada masalah tujuan hukum saja[2]. Sedangkan  pada masa saat ini obyek pembahasan filsafat hukum juga mengkaji setiap permasalahan yang muncul didalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan diantaranya permasalahan yang menyangkut keadilan social di masyarakat.
1.      Contoh-contoh masalah hukum :
·         hubungan hukum dengn kekuasaan
·         hubungan hukum dengan nilai social budaya
·         apa sebab Negara berhak menghukum seseorang
·         sebab orang mentaati hukum
·         masalah pertanggungjawaban
·         masalah hak milik


C.      perkembangan filsafat hukum
1.      zaman purbakala
 pada zaman itu boleh dikatakan bahwa filsafat hukum belum berkembang, alas an utamanya karena filsuf pad masa itu  memusatkan masalah  kepada alam semesta tentang bagaimana cara terbentuknya. Sehingga dapat dikatan filsafat pada zaman tersebut masih beku seperti  pendapat beberapa filsuf seperti: Filsuf yang hidup pada tahun 624-548 S.M mengemukakan bahwa alam semesta ini  terbentuk dari air, anaxi mandros mengatakan bahwa inti alam itu merupakan suatu zat yang tak tentu sifatnya yang disebut to opeiron, heraklitos mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api, dia mengemukakan suatu slogan yang terkenal hingga saat ini yaitu panterei yang berarti mengalir (segala sesuatu di bumi tidak berhenti berubah). Dari pendapat beberapa filsuf diatas maka sudah jelas bahwa sebagian besar filsuf di zaman tersebut masih terpaku dalam bidang perhatian alam saja, sehingga filsafat hukum belum banyak berkembang.
2.      Abad pertengahan
·         Masa Gelap ( the dark ages ) : masa ini dimulai dengan runtuhnya kekaisaram romawi akibat serangan dari suku Germania. Pada masa itu kekaisaran romawi hancur lebur sehingga menyebabkan para ahli masa kini sulit untuk menentukan secara pasti bagaimana filsafat di masa itu,tetapi yang tidak dapat dipungkiri pada masa itu pengaruh agama Kristen sangat pesat sehingga ada berbagai pendapat bahwa filsafat romawi lebih condong ke agama Kristen. Tetapi pada masa ini dapat dikatakan bahwa filsafat hukum belum berkembang
·         Masa scholastik : jika pada masa sebelumnya filsafat hukum belum berkembanhg, pada masa ini banyak pemikiran hukum yang baru tetapi dengan corak khusus yaitu denagn didasari dengan ajaran Kristen. Pada masa ini  terjadi peralihan yang dulu menggunakan alam pikiran yunani terdapat 4 aliran pikiran yang besar yaitu plato,atristoteles,stoa,epicurus. Dikarenakan banyaknya pertentangan dan perbedaan pendapat serta banyak perselisihan di kalangan aliran ini, maka timbullah aliran baru yang disebut aliran ecletisisme
3.      Masa renaissance dan zaman baru
Abad pertengahan, yang merupakan masa yang khas, yang ditandai dengan suatu pandangan hidup manusia yang merasa dirinya tidak berarti tanpa tuhan, dimana kekuasaan gereja demikian besarnya mempengaruhi segala segi kehidupan. Dan muncul zaman baru yang disebut Renaissance, zaman ini ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan, dan manusia menemukan kembali kepribadiannya.
Dalam dunia pemikiran hukum, lahirnya zaman ini menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan daripada rasio tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Pemikiran ini nampak jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalitas dan penganut faham positivism hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.

4.      Abad modern
 Walaupun pada masa sebelumnya unsur logika manusia sangat berperan dalam pengembangan pemikiran hukum, akan tetapi filsafat hukum dinilai kurang berkembang dikarenakan akibat adanya kodifikasi yang kurang memberikan perhatian terhadap masalah-masalah keadilan. Pada masa ini ada tendensi peralihan yaitu yng tadinya filsafat hukum adalah filsafat dari para filsuf, kini beralih kepada filsafat hukum dari para ahli hukum
D.     PENGERTIAN POSITIVISME
Teori  Positivisme  (logical  Positivisme)  adalah  suatu  aliran  yang  banyak  mengalami perubahan  yang  mendasar  dalam  perjalan  sejarahnya,  Istilah  positivisme  pertama  kali digunakan  oleh  Francis  Biken  seorang  filosof  berkebangsaan  Inggris.  Ia  berkeyakinan bahwa  tanpa  adanya  pra  asumsi,  komprehensi-komprehensi  pikiran  dan  apriori  akal tidak  boleh  menarik  kesimpulan  dengan  logika  murni,  maka dari itu harus  melakukan observasi  atas  hukum  alam.  Istilah  ini  kemudian  juga  digunakan  oleh  Agust  Comte dan dipatok  secara  mutlak  sebagai  tahapan paling  akhir  sesudah  tahapan-tahapan  agama dan filsafat.  Agust Comte berkeyakinan bahwa  makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan  sejarah:  pertama,  tahapan  agama  atau  ketuhanan,  pada  tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi  hanya berpegang kepada kehendak Tuhanatau  Tuhan-Tuhan  (Polytheisme);  tahapan  kedua,  adalah  tahapan  filsafat,  yang menjelaskan  fenomena-fenomena  dengan  pemahaman-  pemahaman  metafisika  seperti kualitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme  sebagai tahapan ketiga,  menafikan  semua  bentuk  tafsir  agama  dan  tinjauan  filsafat  serta  hanya mengedepankan  metode  empiris  dalam  menyingkap  fenomena-fenomena.[3]
  Pada  tahun  1930  M, istilah  Positivisme  berubah  lewat  kelompok  lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisiempiris  abad  ke  19.  Lingkaran  Wina  menerima  pengelompokan  proposisi  yang dilakukan  Hume  dengan  analitis  dan  sintetis,  dan  berasaskan  ini  kebenaran  proposisi-proposisi  empiris  dikategorikan  bermakna  apabila  ditegaskan  dengan  penyaksian  dan eksperimen,  dan  proposisi-proposisi  metafisika  yang  tidak  dapat  dieksprimenkan  maka dikategorikan  sebagai  tidak  bermakna  dan  tidak  memiliki  kebenaran. 
 Menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah  harus bersifat analitis,  yakni predikat  diperoleh dari dzat subyek kemudian  dipredikasikan  atas  subyek  itu  sendiri  dan  kebenarannya  lahir  dari  proposisi itu  sendiri serta  pengingkarannya  menyebabkan kontradiksi,  atau  mesti  bersifat  empiris, yakni  melalui  proses  observasi  dan  pembuktian. Tolok  ukur kebenaran  (memiliki makna)  proposisi-proposisi  adalah  melewati proses  pembuktian  dan  eksperimen,  maka  sangat  banyak  proposisi-proposisi  empiris yang  tidak  akan  bermakna  (tidak  benar),  karena  tidak  dapat  dibuktikan .  Mazhab  filsafat  ini  dalam  bagian  lain  mengakui  bahwa  manusia  tidak  mampu menyingkap  hakikat  realitas  dalam  bentuk  pembuktian,  penegasan,  dan  bahkan pembatalan  tetapi  hanya  sebatas  pemuasan  akal.  [4]

E.Pengaruh filsafat positifisme pada perkembangan ilmu hukum
  Hukum positivisme dalam perkembangannya memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang sangat luas. Aliran ini merupakan turunan dari filsafat politik kuno yang sudah lama dibahas, diperkenalkan dan diterapkan sampai abad pertengahan. Namun perkembangan politik modern telah mengubah hampir keseluruhan, masih sedikit menyisakan doktrin filsafat politik klasik. Perkembangan aliran hukum positivistik hingga abad pertengahan berakar dari berbagai macam pemikiran, seperti filsafat politik Hobbes dan Hume, berakar pada pemikiran Jeremy Bentham terhadap gagasannya mengenai hukum dan kekuasaan yang diadopsi, dimodifikasi dan dipopulerkan oleh Austin. Namun hingga pertengahan abad ke 20, ide-ide hukum klasik sudah mulai kehilangan pengaruhnya terhadap para filosof hukum. Pemikiran pada abad modern mengganti kekuasaan hukum pada kekuasaan legislative dengan lebih fokus terhadap institusi-institusi yang mengaplikasikan hukum seperti pengadilanpengadilan. Dan penekanan pemikiran modern itu memberikan jalan terhadap perkembangan teori yang memberi tekanan pada karakter hukum yang sistematik dan normative .
            John Austin (1790-1858) berargumen bahwa ciri-ciri yang  jelas secara prinsip dari sebuah sistem hukum adalah hadirnya kekuasaan yang dipatuhi oleh kebanyakan orang dalam masyarakat.[3] Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, GentaPublishing, Yogyakarta, h. 39.  Hukum baginya merupakan perintah (Command) dari pihak yang berkuasa (Sovereign) dan memiliki terhadapnya memiliki wewenang untuk mengeluarkan sangsi. Austin berpendirian bahwa orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command, dianggap berpijak bahwa command merupakan pelaksanaan dari kekuasaan.  Oleh sebab itu menurutnya, setiap hukum yang dibuat oleh kekuasaan berarti sifat hukum tersebut adalah tertinggi atau berdaulat penuh.[4] ]Jalan Mundur (dalam) Positivisme Hukum Indonesia http://joeniarianto.files, diunduh 29 November 2017.        
  Pendapat Austin tersebut menimbulkan implikasi yakni bahwa apapun bentuknya sesuatu kekuasaan berhak untuk membuat, menentukan dan menegakkan hukum. Kekuasaan bisa dalam artian Negara modern yang terdiri dari eksekutif maupun yudikatif, bisa juga bentuk kekuasan teokrasi yang pemimpinnya mendapatkan legitimasi ke-Tuhanan. Selain itu kekuasaan (sovereign) bersifat paling tinggi, akibatnya  rakyat atau anggota masyarakat yang berada di bawah kekuasaan itu harus tunduk dan patuh terhadap institusi tersebut. Namun bagaimanapun juga pendapat Austin tersebut mengandung berbagai kelemahan. Perdebatan yang mendasar pada teori Austin diatas adalah cocok atau tidaknya teori tersebut diaplikasikan pada suatu tatanan masyarakat yang plural dengan demokrasinya. Padahal pada faktanya tidak ada identifikasi terhadap sovereignty (kekuasaan) pada sebuah negara demokrasi.
 Di Indonesia contohnya, kekuasaan politik tertinggi berada di tangan rakyat yang memilih para pembuat hukum baik legislative maupun eksekutif untuk dapat mewakili kepentingan mereka.  Baik legislative maupun eksekutif itu memiliki kekuasaan untuk memaksa perilaku masyarakatnya Namun legislative, misalnya, harus tunduk dan berperan sebagai pelayan rakyat. Namun Eksekutif yang dipilih oleh rakyat bukannya tunduk pada rakyat namun patuh dan berada pada pengawasan Legislatif.           Problem kedua dari pandangan Austin adalah kekuasaan dari otoritas para pembuat hukum tidak memiliki kemampuan untuk membatasi hukum yang dibuatnya. Pada pandangan Austin, kekuasaan tidaklah secara legal dibatasi karena tidak ada seorang pun atau lembaga apapun yang dapat memaksa dirinya sendiri. Namun begitu di negara demokrasi, hukum yang dibuat oleh Legislative ternyata dapat membatasi perilaku orang-orang yang duduk di Legislative.    
      Pandangan John Austin mengenai hukum yang bersifat imperative ini mengandaikan pada dua hal. Pertama, ini bersifat monistik yaitu mengandaikan bahwa semua hukum-hukum sebagai satu bentuk, membebankan kewajibankewajiban pada subyek hukum-hukum itu, meskipun bukan pada kekuasaan itu sendri. Kedua, hal ini bersifat reduksionis yang hanya menggunakan bahasabahasa perintah dari kekuasaan legislative tertinggi dan sebaliknya mengesampingkan perintah-perintah yang secara normative di luar dari kekuasaan legislative.[5] ] Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 56.  Hans Kelsen (1881-1973) memberi kontribusi yang penting dalam teori hukum positive. Pandangannya dimulai dengan melihat pada perdebatan antara filsafat Kantian dan Postivisme sehingga mendasari pemahamannya mengenai apa itu hukum. Satu phrase yang terkenal dari filsafat Kantian adalah das ding an sich yaitu benda ada pada dirinya sendiri. Persoalan akan dimulai ketika terjadi struktur a priori terhadap suatu benda.         
 Konsep mengenai benda  itu sudah ada dalam diri pengamat ketika ia mengamati obyek benda tersebut. Dari sini muncul dualisme terhadap benda tersebut, yakni numenal dan fenomena. Numenal ada pada diri si pengamat, sedangkan fenomenal ada pada diri benda itu sendiri.  Jika demikian adanya, maka pemahaman terhadap suatu obyek itu bisa jadi berbeda antara pengamat satu dengan lainnya, hal ini akan menimbulkan berbagai kerancuan, dan sulit untuk menemukan obyektifitasnya. Oleh sebab itu pemikir positivist menolak kerancuan ini dan menganggap hakikat itu ada dalam fenomena itu sendiri.[6]
 kelsen mencoba memasukkan sejarah perdebatan itu untuk melihat subyek hukum. Ia mulanya mengatakan bahwa hukum tidak dapat muncul dari fenomena atau fakta. Hukum hadir secara imputative, dimasukkan dari subyektifitas orangorang yang berbeda yang kemudian disatukan. Namun ketika itu sudah menjadi kodifikasi maka suatu hukum dapat menjadi subyek di mana orang-orang yang membentuknya harus tunduk terhadap hukum yang dibuatnya. Hal ini menegaskan bahwa hukum sudah ada pada dirinya sendiri. Menurutnya, ketika sudah membicarakan suatu hukum maka tidak penting lagi mempersoalkan hukum hukum itu dibuat, melainkan biarkan hukum itu sendiri berbicara mengenai dirinya, inilah yang dikatakannya sebagai hukum murni .
 Teori Hukum Murni adalah teori hukum positif. Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berpaya menjawab pertanyaan apa itu hukum, bagaimana keberadaanya, bukan bagaimana ia semestinya ada….Ia disebut teori hukum murni lantara ia hanya menjelaskan hukum dan berpaua membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkutan dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkanilmu hukum dari unssur-unsur asing. Inilah landasan metodologis dari teori ini.[7]         
   Hans Kelsen mempertahankan pandangan imperativalist monism a-la Austin namun meninggalkan pandangan reduksionismenya. Bentuk setiap hukum adalah dari ketentuan bersyarat, diarahkan pada pengadilan, dan menjatuhkan sanksi pada perilaku tertentu dengan menggunakan delik. Pada pandangan ini, hukum adalah sebuah sistem panduan secara tidak langsung: ia tidak memberitahu subyek apa yang harus dilakukan; ia memberitahu petugas hukum mengenai apa yang harus dilakukannya untuk subyek di bawah kondisi tertentu.  Jadi, apa yang biasa kita anggap sebagai kewajiban hukum untuk tidak mencuri adalah, bagi Kelsen hanyalah logis ketika memiliki korelasi dengan norma primer yang menetapkan sanksi terhadap pencuri. Meskipun sebagian menganggapnya sebagai fakta penting namun tidak demikian dalam hukum murni, seperti gunanya punya larangan pencurian. (Pengadilan memperdulikan antara, di satu sisi, orang tidak mencuri dan, di sisi lain, mencuri dan menderita sanksi.)         
  Kontribusi Kelsen yang paling penting terletak dalam serangannya terhadap reduksionisme. Dia berpendapat hukum adalah normatif dan harus dipahami dengan cara demikian. Hal ini mungkin tidak membuat kewenangan – bahkan hak hukum – sehingga filsafat hukum harus menjelaskan fakta bahwa hukum diambil untuk memaksakan kewajiban pada subjeknya.            Selain itu, hukum adalah sistem normatif: “Hukum tidak, seperti yang kadang-kadang dikatakan, sebuah aturan. Ini adalah satu set aturan dimana memiliki semacam kesatuan yang dapat kita sebut sistem“.[8] Pandangan imperativalisnya Austin menilai kesatuan sistem hukum terdiri dari semua hukum yang diperintahkan oleh satu badan yang berberdaulat. Namun bagi Kelsen, seperangkat sistem hukum tersebut terdiri, pada kenyataan bahwa mereka semua berhubungan dalam satu rantai otoritas, bahkan memiliki otoritas itu sendiri.             Dari dua pendapat baik itu Bentham-Austin dan Kelsen nampak jelas perbedaannya. Kewenangan atau daulat bagi Kelsen terletak pada diri hukum itu dan bagaimana seperangkat hukum tersebut dapat melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar kedaulatan pada hukum itu sendiri tetap memiliki kekuatan hukumnya meski terjadi suatu perubahan sosial yang berakibat pada pergeseran suatu pemerintahan. Jikapun terjadi perubahan pada seperangkat hukum maka harus melalui mekanisme-mekanisme yang tetap merujuk pada hukum yang secara sah berbicara mengenai perubahan itu. Pendapat itu juga diperkuat oleh Hart yang akan dibahas kemudian.  Sementara kedaulatan hukum menurut Austin yang imperative itu ditentukan oleh kedaulatan dari pemerintahan itu sendiri. Maka mungkin saja bisa jadi, ketika pemerintahan itu mengalami perubahan, hukum itu sendiri dengan sesegera mungkin juga dapat berubah.             Contoh yang paling dapat terlihat adalah pada kasus di Indonesia. Manakala terjadi pergeseran pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi, tidak serta merta membawa seluruh perubahan hukum yang dibuat di masa Orde Baru. Jika-pun dirasa perlu ada perubahan hukum di Era Reformasi (seperti amandemen UUD tentang pemilihan presiden) harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang terdapat pada sepertangkat Undang-undang dasar itu sendiri. Dalam perspektif Kelsenian misalnya, lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengubah undang-undang adalah sebenarnya lembaga yang diberikan kewenangan oleh aturan tertinggi undang-undang dasar (first constitution)             Intinya bahwa kekuasaan hukum itu ada pada hukum sendiri, pertanyaan selanjutnya ketika dalam sistem ketatanegaraan misalnya, banyak hukum-hukum yang lainnya, maka siapakah yang paling memiliki kewenangan? Padahal secara teoritis, sebenarnya mungkin saja satu hukum bersumber dari sumber hukum yang lainnya. Untuk menghindari kerancuan ini,  Kelsen mengajukan suatu pemikiran terhadap apa yang ia sebut sebagai norma dasar (grundnorm).

E.      Manfaat mempelajari filsafat hukum
Dikutip dari pendapat Mochtar Kusumaatmadja (1975:9) yaitu:
1.      Mata kuliah filsafat hukum di tingkat terakhir berfungsi untuk menetapkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia untuk menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminya
2.      Pelajaran filsafat hukum bisa dimanfaatkan
Secara praktis untuk menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan dengan memberikan perhatian khusus pada ajaran-ajaran sociological jurisprudence dan legal realism



[1] Kuliahade.wordpress.com/,10-09-2012
[2] Lihat : Aristoteles, Hakekat Hukum Karya Utama, Hal. 76
[3] Achmadi, 1995: 120-121
[4]  Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 56.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Untuk Kekasih

 Sebuah Roman kepada pemeluk teguh, tuhanku dalam keadaan termangu aku senantiasa mengingat ciptaanmu seorang hawa yang senantiasa menengadahkan tangan kepadamu dengan suka tanpa duka ia selalu meminta apapun kepadamu ohh tuhanku, ia dengan kelembutan dalam jiwanya seperti rimbaraya di pagi hari yang menyingsingkan sinarnya tanah becek, duri beracun, dan kegelapan sirna seiring dengan hadirnya namun ternyata itu adalah kenangan untuk terakhir kalinya gaun putih kecoklatan yang engkau kenakan akan selalu kukenang hingga enam masa  tatapan mata yang menyorot bagai bintang yang penuh kasih sayang akan selalu ada tempat dalam relung hati yang terdalam betapa berat, wahai betapa bosan hati ini untuk terus berjauhan membenar-benarkan kata dalam sebuah pesan hanya untuk mengakhiri sebuah obrolan kunyalakan jiwa hingga ngungun, sunyi riuh rendah, hari berganti malam tanpa sebuah istirah wahai tuhan yang menangui kidung ini, sudikah engkau mendekatkan sanubari kami kembali atau mungkin...

Pemeluk Dosa

Sukmanya memberontak namun apadaya sang tuhan telah memerintahkan bala tentaranya Getir dalam perasaannya  sesal dalam perbuatanya tidak akan bisa menanggung 9 hawa diri semasa hidupnya Usai sudah misinya  dengan segala amal yang diperbuatnya, harusnya ia juga tau akan masuk kemana Dalam kesadaran kecil dia berkata  bahwa hanya dengan setetes rahmat-NYA  aku bisa tertolong selamanya

Yang cantik yang (tak) bisa (di)takluk(kan) selamanya

​ Tidak seperti cerita saya sebelumnya yang syarat dengan revolusi sejarah dan kemerdekaan bangsa, "tungku api" sosok utama di sequel ini mungkin wanita yang di idamkan setiap mahasiswa. Ia dengan kulit putihnya, tirus pipinya, merah muda gincunya, kalau tersenyum,ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya dan kelembutan hatinya  Dia juga suka binatang kucing seperti sodara saya, kalau sedang bercengkrama dengan hewannya, aduh, menenangkan sekali rasanya Dia juga penakut seperti saya, hampir setiap hari pada pukul 23.00 tepatnya, dering telfon bergema pertanda dia minta untuk ditemani hanya sekedar buang air kecil di lantai atasnya. Kadang juga pembahasanya sangat riang kedengarannya, kisah asmaranya membuat-ku ingin memiliki wanita seperti ia. Bersih bersih adalah hobinya namun aku tak yakin ia bisa membuat "sambal tumpang seperti ibuku dan mbah kedah rasanya" Sepertinya ia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, sayang aku belum berkenalan dengan bapaknya....